Archive for September, 2010



Oleh: Gus Mustofa Bisri
Hari Idul Fitri di Indonesia mungkin berbeda dengan Idul Fitri di negeri-negeri lain. Di Indonesia terasa lebih meriah, bahkan lebih dari pada hari raya Kurban yang sering disebut juga Hari Raya Akbar. Di Indonesia, Idul Fitri juga sering disebut Lebaran.
Perayaannya tak cukup hanya sehari. Di beberapa daerah orang merayakannya hingga sepekan. Bahkan, bila kita hitung acara-acara halalbihalalnya, bisa sebulan penuh.
Eloknya lagi, hari Idul Fitri di Indonesia tidak hanya dirayakan oleh kaum Muslim, tetapi melibatkan hampir seluruh masyarakat.
Sebagai perbandingan, Idul Fitri di Mesir. Pemandangan di sana hanya orang ramai melakukan salat Ied, lalu rombongan keluarga-keluarga berpiknik mengunjungi taman-taman atau kebun binatang untuk makan bersama.
Di Indonesia, setelah melakukan shalat Ied, masyarakat melakukan silaturrahmi, saling mengunjungi, dan bermaaf-maafan. Untuk yang terakhir ini, bahkan dilakukan oleh mereka yang sengaja datang dari tempat-tempat yang jauh, terutama perantau yang sekalian mudik meninjau keluarga. Kebiasaan silaturahmi ini tidak hanya dilakukan antarkeluarga, tidak hanya antarkaum Muslim, tetapi juga antar-RT, RW, instansi, dan lainnya.
Tampaknya, di Hari Raya ini, dada orang-orang terasa lebih lapang. Orang yang paling keras sekalipun, dalam suasana Lebaran, tiba-tiba mudah meminta maaf dan memaafkan. Hal ini boleh jadi karena bagi kaum Muslim khususnya, ada rasa plong, terlepas dari dosa-dosa hasil ketulusan mereka berpuasa selama satu bulan.
Memang ada hadist Nabi SAW yang menyatakan, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan semata-mata karena iman dan hanya mengharap ganjaran Allah, orang itu akan diampuni dosanya yang dilakukan sebelumnya.”
Namun, kesalahan yang dilakukan manusia bisa kepada Tuhan, bisa juga kepada sesama hamba, dan ini rupanya amat disadari para pendahulu kita yang mula-mula mentradisikan silaturahmi Lebaran. Dengan asumsi dosa-dosa kita yang langsung kepada Allah telah diampuni oleh-Nya, bukan berarti semua dosa telah tuntas diampuni.
Ada dosa-dosa lain yang—paling tidak menurut saya—lebih gawat dan sulit, yaitu dosa-dosa kepada sesama. Jika dicermati, sebenarnya pergaulan dengan Allah jauh lebih enak ketimbang dengan manusia. Allah Maha Pengampun. Dosa kita kepada-Nya, sebesar apa pun jika disesali dan kita mohonkan ampun, akan diampuni-Nya. Lembaga pengampunan-Nya banyak sekali. Beristigfar; menghapus dosa; bersembahyang menghapus dosa; berpuasa menghapus dosa; berbuat baik menghapus dosa; dan banyak lagi.
Berbeda dengan manusia. Salah sedikit marah, bahkan sering kekhilafan yang tidak disengaja pun sulit dimaafkan. Untuk meminta maaf atau memaafkan, orang memerlukan timing tertentu seperti Lebaran ini. Anehnya, terhadap Allah Yang Begitu Baik, kita justru begitu berhati-hati, bahkan sering berlebihan hingga menimbulkan waswas atau menimbulkan masalah di antara kita. Sementara terhadap sesama manusia yang sulit, kita sering sembrono dan seenaknya. Padahal, banyak dalil naqli yang menyebutkan gawatnya dosa antarsesama.
Imam Muslim (817-865 M), misalnya, meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah (w 676 M), sebuah hadis perlu direnung-perhatikan. Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Atadruuna manil muflis?” “Tahukah kalian siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Pada kita, yang namanya orang bangkrut adalah orang yang tak punya lagi uang dan barang.”
Rupanya bukan itu yang dimaksud Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Innal-muflisu min ummatii man ya’tii yaumal qiyaamah bishalaatin….” “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang di hari kiamat membawa salat, puasa, dan zakat, sementara sebelumnya dia telah mencaci ini, menuduh itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu, memukul ini. Maka kepada si ini diberikan dari ganjaran kebaikan-kebaikan orang itu dan kepada si itu diberikan dari ganjaran kebaikan-kebaikannya. Apabila habis ganjaran kebaikan-kebaikan orang itu sebelum semua tanggungannya terlunasi, maka akan diambil dosa-dosa mereka yang pernah disalahinya dan ditimpakan kepadanya, kemudian orang itu pun dilemparkan ke neraka.” Nauzubillah.
Hadist ini dengan jelas mengingatkan, kita tidak boleh hanya mengandalkan amal ibadah ritual, sementara secara sosial kita tidak berlaku hati-hati terhadap sesama. Tidak sedikit di antara kita orang tertipu, tanpa sadar, karena telah bersembahyang, berpuasa, berzakat, dan berhaji, merasa diri sudah dekat dengan Allah, bahkan ada yang keterlaluan merasa diri wakil-Nya, lalu seenaknya memperlakukan sesama hamba Allah. Dengan mudah mencaci maki, memukul, menuduh, melukai, merampas hak, dan berlaku sewenang-wenang terhadap sesama.
Banyak yang lupa, penilaian terakhir orang pantas disebut hamba saleh yang mendapat rida Allah dan memperoleh surga, semata-mata ada di tangan Allah. Menurut firman-Nya dalam Al Quran, manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan menghormati. Yang paling mulia di antara mereka di sisi-Nya ialah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Dan siapa yang paling takwa, hanya Allah yang mengetahui. Bukan kita.
Nah, tradisi Lebaran yang khas di negeri kita ini sudah sepatutnya dicerdasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai lebih. Lebaran untuk melebur dosa kita terhadap Allah sekaligus terhadap sesama. Dengan demikian, bisa diharapkan diri-diri kita menjadi kembali bersih dari segala dosa. Kembali ke fitrah, untuk kemudian berusaha menjaga kebersihannya dengan menjaga pergaulan dan hubungan baik kita, baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama hamba-Nya. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin. (*)

Tingkatan Wali Allah


Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :

Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.

Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.

Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad SAW sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammad SAW.

Sumber: Dikutib dari Sufi Road pada 9 Ramadhan 1431H

“Salam Mbois”


*Nikah*
KALAU yang ini benar-benar kisah nyata yang dialami Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah. Gus Dur muda dikenal sebagai pria pemalu. Ia lebih memilih buku dan bola sebagai teman daripada harus pacaran.
Maka ketika ia ditawari untuk kuliah di Mesir, ia diwanti-wanti oleh pamannya, KH Fatah agar sebaiknya mencari isteri dulu segera. “Soalnya, kalau menunggu pulang dari luar negeri, kamu hanya akan mendapat wanita tua dan cerewet,” ucap paman.
Mendengar pesan paman yang sangat menyayanginya itu ia gelagapan. Namun, setelah dipikir-pikir pesan paman itu nyantol juga. Apalagi sang paman tidak hanya menganjurkan, tetapi juga membantu mencarikan calon. Lalu disodorkan nama Sinta Nuriyah, yang pernah menjadi murid Gus Dur ketika menjadi guru di Mua’llimat. Tanpa membantah sepatah kata pun, dia menyiakan pilihan pamannya itu.
Sayangnya Sinta Nuriyah belum bersedia. Lantaran ia baru saja trauma oleh salah seorang gurunya yang meminangnya ketika ia baru berusia 13 tahun. Celakanya guru itu juga bernama Abdurrahman.
Maka ketika pertama kali ia menerima surat Gus Dur, Nuriyah ogah-ogahan dan berkomentar, “Ah Abdurrahman lagi, Abdurrahman lagi.”
Namun keraguan Nuriyah berubah menjadi simpati ketika dalam sebuah suratnya Gus Dur mengeluhkan bahwa ia tidak naik tingkat karena terlalu aktif di PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) Mesir. Maka lewt surat balasannya, Nuriyahpun tersentuh dan mencoba menghibur. “Masak manusia harus gagal dalam segala-galanya,” tulis Nuriyah. “Gagal dalam studi, paling tidak berhasil dalam jodoh.”
Begitu menerima surat itu, maka Gus Dur langsung meminta ibunya untuk segera melamar Nuriyah. Kebetulan, sebentar lagi salah satu adik Gus Dur juga mau menikah, dan sungkan melangkahi kakaknya. Maka tanggal pernikahan pun disamakan. Pernikahan pun direncanakan dilaksanakan di Tambak Beras Jombang.
Karena Gus Dur sedang di Mesir maka terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai pria alias in absentia. Pihak keluarga meminta kakek Gus Dur dari garis ibu, KH Bisri Syansuri , yang berusia 68 tahun, untuk mewakili mempelai pria.
Tak pelak para hadiran kaget saat menyaksikan acara ijab Kabul. Mereka merasa iba pada Nuriyah. “Kasihan ya si Nuriyah, suaminya tua banget.”
Maka sepulang sekolah dari Mesir, aksi pertama yang dilakukannya adalah kawin (lagi). Mereka menggelar resepsi betulan-kali ini dengan mempelai pria yang asli.
*Gila NU*
RUMAH Gus Dur di kawasan Ciganjur sehari-harinya tak pernah sepi dari tamu. Dari pagi hingga malam, bahkan tak jarang sampai dinihari para tamu ini datang silih berganti baik yang dari kalnagn NU maupun bukan. Tak jarang mereka datang dari luar kota.
Menggambarkan fanatisme orang NU, menurut Gus Dur ada tiga tipe orang NU. “Kalau mereka datang dari pukul tujuh pagi hingga jam sembilan malam, dan membicarakan tentang NU, itu biasanya orang NU yang memang punya komitmen dan fanatik terhadap NU,” tegas Gus Dur.
Orang NU jenis kedua, mereka yang meski sudah larut malam, sekitar jam duabelas sampai jam satu malam, namun masih mengetuk pintu Gus Dur untuk membicarakan NU, “Itu namanya orang gila NU,” katanya.
Orang jenis ketiga, Gus?
“Tapi kalau ada orang NU yang masih juga mengetuk pintu saya jam dua dinihari hingga jam enam pagi, itu namanya orang NU yang gila,” katanya.

*Saudara Kamar Mandi*
SUATU ketika seorang Kiai kedatangan tamu seorang Bupati. Sang Kiai dalam sambutannya mengatakan, “Kami sudah membangun beberapa kamarmandi dan saudara-saudaranya,” Hadirin pun bingung mendengarnya, termasuk pak Bupati.
Ternyata yang dimaksud sang Kiai selain kamar mandi juga telah dibangun WC. Karena di depan para tamu dan orang banyak, sang Kiai segan menyebut kata WC. Maka ia menghaluskan kata itu, karena dianggap kurang patut

*Salah Sebut*
SAAT diundang pada suatu acara di Malang Jawa Timur, Gus Dur ditunggu banyak pihak. Banser pun yang selalu sibuk bila Gus Dur ada acara di daerahnya juga memantau melalui HT yang selalu digenggamnya. Salah seorang anggota Banser berada di Bandara Abdurrahman Saleh, Malang. Ia senantiasa melaporkan perkembangan di sana setiap saat.

Begitu pesawat yang ditumpangi Gus Dur mendarat, dia senang bukan main. Maka dengan penuh semangat dia langsung melapor ke panitia lokasi acara, melalui HT nya. Karena begitu bersemangat diapun gugup tak karuan.

“Halo, kontek, kontek! Kiai Abdurrahman Saleh sudah mendarat di bandara Abdurrahman Wahid,” katanya. Tentu saja panitia yang menerima laporannya kaget dan sekaligus tertawa.

“Salam MBois”


Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah ( yang terpuji ) dan bid’ah madzmumah ( yang tercela ) . Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah Bid’ah yang terpuji. Sedangkan yang bertentangan dengan sunah adalah Bid’ah yang tercela .”(Imam Syafi’i)

Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Ia berhubungan banyak hal didalam Islam. Sayangnya banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga, tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan. Sebenarnya para ulama telah menjelaskan permasalahan ini dengan jelas , hanya saja kita kurang mempelajarinya. Dalam bab ini akan di sampaikan uraian singkat tentang Bid’ah , dengan harapan tidak terjadi lagi salah pemahaman terhadapnya. Semoga Allah membukakan pintu hati untuk mengetahui yang benar. Amiin..
*Arti Bid’ah secara bahasa*

Dalam bebagai kamus bahasa Arab , kita dapat menemukan arti bid’ah secara bahasa (etimologis) dengan mudah. Dalam kamus Al-Munjid desebutkan : “Bid’ah adalah suatu yang diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu”,. Pada dasarnya semua kamus bahasa Arab mengartikan bid’ah secar bahasa sebagai sebuah perkara baru yang diadaka atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Penciptanya disebut mubtadi’ atau Mubdi’. Langit dan Bumi dapat juga disebut sebagai bid’ah, sebab keduanya diciptakan oleh Allah SWT tanpa adanya contoh terlebih dahulu. Didalam Alquran Allah mewahyukan : pada surat Al-baqarah : 117 ” Allah Pencipta langit dan Bumi ( tanpa contoh )” .
Arti Bid’ah secara Istilah Agama ( Terminologis )
.Sebuah hadist tidak cukup sebagai dasar untuk menetapkan arti bid’ah. Kita harus mempelajari semua Hadist yang berkaitan denganya. Tentunya tidak semua orang memiliki waktu dan pengetahuan yang cukup untuk melakukanya. Alhamdulillah para ulama telah bekerja keras untuk merumuskan dan menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan bid’ah . Dalam bab ini  akan disampaikan pendapat Imam Syafi’i (Imam syafi’i : Beliau adalah Muhammad Idris, julukan beliau adalah Abu Abdillah, Beliau lahir di Gazza Palestina pada tahun 150 H, bertepatan dengan hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Pada saat itu masyarakat menyatakan ” Telah wafat seorang Imam dan Lahirlah seorang Imam, Sejak kecil beliau telah Yatim, pada saat menginjak usia dua tahun ibu beliau membawanya ke Mekah. Pada usia tujuh tahun beliau telah hafal Al-Quran dan saat berusia sepuluh tahun beliau telah hafal Al-Muwaththa ; Buku hadis karya Imam Malik ra .Beliau kemudian berguru kepada Imam Malik di kota Madinah dan pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan tinggal disana hingga wafat pada tahun 204 H. (Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Idris Syafi’i, Diwanul Imamisy Syafi’i, Darul Fikr, Beirut, 1988, hal.5-20. ) Seorang ulama ternama yang keilmuan dan kesalehannya diakui oleh dunia sejak dulu hingga saat ini.
*Pendapat Imam Syafi’i*
Imam syafi’i rhm berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua yaitu hasanah dan bid’ah sayyi’ah atau bid’ah mahmudah ( yang terpuji ) dan bid’ah madzmumah ( yang tercela ). Pendapat beliau ini berlaku bagi semua hal baru yang terjadi setelah zaman Rasulullah saw dan zaman khulafaur Rasyidin Hamalah bin yahya menyatakan bahwa beliau mendengar ( imam) syafi’i rhm berkata : “bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Bid’ah yang sesuai dengan sunah adalah bid’ah yang terpuji ( mahmudah ), sedangkan yang bertentangan dengan sunah adalah bid’ah yang tercela ( madzmumah )”.
Rabi’ ra berkata bahwa imam syafi’i rhm berkata : ” Hal-hal baru(muhdatsat ) itu ada dua yang pertama hal baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah, Atsar maupun Ijma, Inilah bid’ah yang sesat , yang kedua segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Quran, Sunah, Atsar maupun Ijma, Hal baru ini merupakan Bid’ah yang tidak tercela.’
Pembaca yang budiman anda mungkin bertanya mengapa Imam Syafi’i rhm berpendapat demikian, sedangkan Rasulullah saw telah bersabda : ” Barang siapa diberi hidayah oleh Allah swt , maka tiada siapapun yang menyesatkannya . Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah swt , maka tiada siapapun dapat memberinya hidayah ( Petunjuk )”.
” Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatst (hal-hal baru) dan semua muhdats (yang baru) adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka.” ( HR Nasa ‘i)
Hadist diatas memang benar, tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bid’ah sesat. Untuk dapat memahaminya dengan benar, kita harus megkaji semua Hadist yang berhubungan dengannya. Sehingga, kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah . Dibawah ini akan coba di jelaskan makna dari Hadis diatas, semoga Allah melapangkan hati kita untuk memahaminya dengan benar. Amiin.
Penjelasan Pertama
Untuk dapat memahami sebuah ayat dengan benar kita harus mempelajari sebab turunnya ayat tersebut dan juga bagaimana penafsiran para ulama tentangnya. Begitu pula ketika hendak memahami sebuah hadist, kita tidak harus bertanya kepada para ulama. Sesungguhnya tidak semua ayat atau Hadist dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriahnya atau teks yang tertulis. Orang yang bersikukuh hanya mau memahami sebuah ayat atau Hadist sesuai dengan teks yang tertulis ( makna lahiriyahnya ), dan tidak mau menerima penafsiran para ulama, suatu saat ia akan mengalami kebingungan. Hadist tentang bid’ah diatas merupakan salah satu Hadist yang memerlukan penafsiran. Jika kata semua bid’ah tidak ditafsirkan, maka apa yang akan terjadi ? kita semua akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi , pengeras suara, permadani yang terhampar di Masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat marmer , penggunaan senduk dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainya semua itu merupakan hal-hal baru yang tidak pernah ada dizaman Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah saw menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya ada dineraka. Ketika dihadapkan pada pertanyaan seperti ini jawaban apa yang akan diberikan oleh mereka yang hanya berpegang pada makna lahiriyah Hadist bid’ah. Dalam Hadist tersebut Rasulullah saw tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyatakan semuanya sesat. Sehingga, jika Hadist tersebut dipahami secara langsung dan tidak ditafsirkan , semua hal baru dalam permasalahan dunia maupun agama adalah sesat dan pelakunya masuk neraka.Ternyata setelah dihadapkan pertanyaan seperti ini mereka akan mengatakan bahwa semua yang tersebut diatas , seperti permadani yang terhampar dimasjid, pengeras suara, berbagai sarana transportasi dan lain sebagainya adalah bid’ah duniawiyyah, bid’ah seperti ini tidak sesat yang sesat hanyalah bid’ah dalam bidang agama atau yang biasa disebut bid’ah diniyah (keagamaan ). Sungguh aneh bukan, jika sebelumnya mereka bersikukuh pada makna lahiriyah Hadist yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat, serta menganggap pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah sebagai suatu yang dipaksakan dan bertentangan dengan hadist Rasulullah saw, kini mereka sendiri membagi bid’ah itu menjadi dua , yaitu bid’ah keduniaan dan bid’ah keagamaan.
Jika mereka boleh membagi bid’ah menjadi dua, padahal Rasulullah tidak pernah melakukannya maka para ulama besar seperti Imam Syafi’i rhm pun boleh membagi bid’ah menjadi bid’ah Hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Mari kita berfikir jujur ternyata semua ulama didunia ini telah menjelaskan arti bid’ah dan membaginya sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Inilah salah satu alasan kami menerima pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Penjelasan Kedua
Diatas telah dijelaskan bahwa tidak semua Hadist dapat dicerna langsung, ada beberapa Hadist yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, dan salah satunya adalah Hadist tentang bid’ah tersebut. Hadist Kullu bid’atin dhalalatun merupakan Hadist yang bersifat umum. Dalam Hadist seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimat yang tidak disertakan , tidak diucapkan, tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya. Hadist Kullu bid’atin dhalalatun mirip dengan beberapa hadist di bawah ini :
…….” Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum ia mencintai untuk saudaranya seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri ” (HR Bukhari , tirmidzi, Nasa’i, ibnu Majjah dan Ahmad ).
…….” Bukan dari golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Quran dengan suara yang baik (merdu )” ( HR Bukhari , Abu Daud, Ahmad dan Darimi ).
…….” Shalat witir itu benar, maka barang siapa yang tidak menunaikan shalat witir ia bukan dari golongan kami. ” ( HR Abu Dawud dan Ahmad ).
…….” Tidaklah berwudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah dalam wudhunya.” ( HR Tirmidzi Abu Dawud, Ibnu Majah , Ahmad dan Darimi)
…….Jika kata ” Tidak ” dan “Bukan dari golongan kami” dalam beberpa Hadist diatas tidak dijelaskan, tidak ditafsirkan lalu bagaimana nilai wudhu kita , bagaimana kedudukan kita dalam Islam? Nabi menyatakan , ” Bukan dari Golongan kami .” Jika tidak berada dalam golongan Nabi dan para sahabatnya , maka kita berada dalam golongan siapa? Oleh karena itu, hadist diatas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dalam hadis lain sehingga kita tidak salah memahami ucapan Nabi Muhammad SAW. Para Ulama menyatakan bahwa kata ” Tidak ” dalam Hadist diatas artinya adalah “Tidak Sempurna”. Dalam Hadis itu ada kata ” sempurna ” yang tidak diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat. Sedangkan kata, ” Bukan dari Golongan kami ” artinya “Bukan dari golongan terbaik kami “. Dalam Hadist ini terdapat kata “terbaik” yang tidak juga diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat

Para ulama menjelaskan bahwa dalam Hadist Kullu bid’atin dhalalatun juga terdapat kalimat yang tidak diucapkan olah Nabi saw, namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat itu terletak setelah kata “Bid’atin ” dan bunyinya adalah “yang bertentangan dengan syariat”.Coba anda perhatikan kalimat yang terletak didalam tanda kurung berikut : “Semua bid’ah ( yang bertentangan dengan syariat ) adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah neraka.” Ini juga alasan kami mengapa pendapat imam Syafi’i diatas kami terima.
Penjelasan Ketiga
Dalam Hadist diatas Rasulullah saw menyatakan bahwa kullu bid’atin dhalalatun yang jika diterjemahkan secara tekstual ( sesuai dengan makna lahiriyah ) akan berarti semua bid’ah sesat. Yang menjadi pertanyaan benarkah kata kullu selalu berarti semua? Didalam Al-Quran terdapat beberapa kata kullu yang pada kenyataanya tidak berarti semua, coba perhatikan wahyu Allah berikut : ” (Angin ) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhanya , maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi, kecuali tempat tinggal mereka . Demikianlah kamu memberi balasan kepada kaum yang berbeda “.( Al-Ahqaf , 46:25).
Dalam ayat diatas Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang-orang kafir tersebut terkubur didalam bumi. Kendati disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in ( segala sesuatu ), ternyata rumah orang-orang kafir tersebut tidak ikut campur. Ini membuktikan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua . Dalam ayat diatas rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian. Begitu pula dalam hadist kullu bid’atin dhalalatun disana ada sesuatu yang dikecualikan . Rasulullah saw bersabda : ” Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah ( agama ) kami ini, yang tidak bersumber darinya ( agama ) maka dia tertolak.” (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad ).
Perhatian kalimat ” yang tidak bersumber darinya (agama)”. Inilah kalimat yang jelas menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Berdasarkan sabda Rasulullah saw diatas, maka Hadist “kullu bid’atin dhalalatun , dapat diartikan sebagaiberikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunah.”
Penjelasan itu mungkin belum meyakinkan kita semua oleh karena itu mari kita coba untuk menyimak penjelasan berikutnya.
Penjelasan Keempat
Setelah memahami keterangan diatas, mari kita pelajari arti muhdatsat ( hal-hal baru ) salam Hadist sebelumnya pera Ulama menyatakan bahwa kada muhdatsat dalam Hadist tersebut artinya adalah segala hal yang baru tidak sesuai dengan Al-Quran dan Hadist Nabawi. Pernyataan ini didukung oleh beberapa Hadist . Coba anda simak sabda Rasulullah saw berikut : “ Dan Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah ( sesat ) yang tidak diridhoi Allah dan Rasul Nya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkan tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka .” ( HR Tirmidzi ).
Dalam Hadist diatas disebutkan “ Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dhalalah “ hal ini menunjukan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Andaikata semua bid’ah sesat tentu beliau akan langsung berkata : “ Barnag siapa mengadakan sebuah bid’ah “ dan tidak menambahkan kata dhalalah dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut kalimat “Bid’ah dhalalah “ maka logikanya ada bid’ah yang tidak dhalalah. Disamping itu dalam sabdanya yang lain , Rasulullah saw berkata : “Barang saiapa membuat suatu yang baru dalam masalah agama kami ini yang tidak terdapat didalam agama maka ia tertolak.” (HR Bukhari dan Abu dawud ). “ Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama kami ini yang tidak bersumber darinya (agama) maka dia tertolak. ( HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad )
Coba perhatikan dalam Hadist diatas Rasulullah saw menambahkan kalimat “ yang tidak bersumber dari agama,”dan kalimat “yang tidak terdapat dalam agama .” Akankah sama jika kalimat tersebut dihilangkan . coba perhatikan perbedaan keduanya ( yang masih utuh dengan yang sudah dipotong.)
“ Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama kami ini yang bersumber darinya ( agama ) maka dia tertolak. “
Dibandingkan dengan kalimat berikut :
“ Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama maka dia tertolak “
Jika kita perhatikan dengan baik kedua kalimat diatas sangat berbeda. Kalimat pertama memberitahukan bahwa hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama saja yang ditolak sedangkan kalimat yang kedua bahwa semua yang baru ditolak. Kini jelaslah bahwa penambahan kalimat “ Yang tidak bersumber darinya (agama) “ merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru sesat. Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi saw tidak akan menambahkan kalimat tersebut . Beliau saw berkata ,” Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama kami ini, maka ia tertolak,” tetapi hal ini beliau tidak lakukan. Kesimpulannya , selama hal baru tersebut bersumber dari Al-Quran atau Hadist maka dia dapat diterima oleh Allah dan diterima oleh Rosul-Nya SAW.
Penjelasan Kelima
Rupanya pemahaman bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan seorang sahabat terkemuka khalifah kedua dalam islam amirul Mukminin Umar bin Khatab ra pernah mencetuskan istilah bid’ah baik untuk sebuah amalan yang beliau susun yaitu shalat taraweh berjamaah di masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam yang hapal Al-Quran . Imam Bukhari ra dalam kitab shahihnya menyebutkan : “ Dari Abdurrahman bin Abdul Qori, ia berkata “ pada suatu malam dibulan Ramadhan saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khatab ra. Disana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang sholat sendiri ada pula yang berjamaah bersama sekelompok orang . Pada saat itulah Umar bin Khatab ra berkata “Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan dibawah pimpinan seorang imam yang hapal Al-Quran tentu akan lebih baik. Beliau bertekad untuk mewujudkan niatnya .Akhirnya beliau persatukan mereka dibawah pimpinan Ubay bin kaab. Dimalam lain aku keluar menuju masjid bersama Umar ra . Saat masyarakat sedang menunaikan sholat (tarawih) berjamaah dengan imam mereka yang hapal Al-Quran .( ketika menyaksikan pemandangan tersebut ) berkatalah Umar ra : Inilah sebaik-baiknya bid’ah .” (HR Bikhari dan Malik).
Dengan jelas , dihadapan para sahabat , Sayidina Umar ra mengucapkan “ Inilah sebaik-baiknya bid’ah “ Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua bid’ah itu sesat.hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist lah yang sesat.
Penjelasan Keenam
Rasulullah saw selalu mendorong umatnya untuk melaksanakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya serta menghidupkan selalu sunah-sunah beliau. Tentunya setiap zaman memiliki cara dakwah tersendiri dan setiap masyarakat memiliki adat yang berbeda. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan tingkat pemikiran dan pemahamannya. Untuk menghidupkan sunah Rosul SAW yang seringkali diabaikan oleh umat Islam inilah para ulama kemudian memunculkan berbagai gagasan dan Ide cemerlang yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Gagasan tersebut mereka peroleh setelah mendalami Al-Quran dan Al-Hadist. Meskipun dikemas dalam model atau bentuk baru, tetapi isinya tiada lain adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Salah satu contohnya adalah apa yang Beliau berupaya menghidupkan sunah Rasulullah SAW dengan mempersatukan umat dalam kebaikan. Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar ra serta para ulama lain yang mengikuti beliau ra, tiada lain adalah salah satu upaya untuk mengamalkan.
Oleh karena itu jangan gegabah dan tergesa-gesa menuduh bahwa suatu hal yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat sebagai bid’ah sesat yang harus diperangi. Tetapi, dengan kedewasaan berfikir marilah kita kaji landasan dan dalil yang mereka gunakan dalam kegiatan keagamaan tersebut . Jika memang tidak bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist mari kita bersama-sama dakwahi dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik. Dan memang ada sumbernya dari Al-Quran dan Al-Hadist mari kita dukung bersama sebagai sarana untuk menghidupkan ajaran Al-Quran dan sunah Rasulullah saw.
Copy Raigt®Mana Dalilnya 1( Novel bin Muhammad Alaydrus )

Semoga Allah SWT Yang Maha Pengampun memberi Ampunan pada hamba yang lemah ini

“Salam Mbois selalu”